Isikan Kata Kunci Untuk Memudahkan Pencarian

897. Konstruksi Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Muhammadiyah kini telah berkembang dengan ribuan amal usahanya yang banyak menyentuh lapisan masyarakat. Berdasarkan data tahun 2005 yang dimuat dalam Profil Muhammadiyah 2005, organisasi ini tercatat telah memiliki amal usaha yaitu: 1132 Sekolah Dasar (SD), 1769 Madrasah Ibtidaiyah/Diniyah (MI/MD), 1184 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 534 Madrasah Tsanawiyah (MTs), 511 Sekolah Menengah Atas (SMA), 263 Madrasah Aliyah (MA), 172 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), 67 Pondok pesantren, 55 Akademi, 4 Politeknik, 70 Sekolah Tinggi, 36 Universitas, 345 amal usaha kesehatan, 330 amal usaha sosial, 19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR), 190 Baitul Tanwil Muhammadiyah (BTM), dan 808 Koperasi (Warga) Muhammadiyah (Tim Penyusun dan Penerbitan Profil Muhammadiyah 2005, 2005: viii). Di antara sekian ribu amal usaha tersebut, bidang pendidikan menjadi garapan yang tak pernah usang dari awal berdiri hingga kini. Gebrakan K.H. Ahmad Dahlan dalam sistem pendidikan Indonesia yang pada masa itu masih dikotomik menjadi icon tersendiri bagi Muhammadiyah sebagai perintis sistem pendidikan integralistik. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan tersebut menjadi jawaban permasalahan pendidikan atas dua sistem pendidikan pada waktu itu yang sama-sama ekstrim. Sistem yang satu hanya menekankan pada sisi religiusitas sedangkan sistem yang lainnya hanya menekankan pada sisi duniawi (Khozin, 2005: 4). Kedua sistem ini hanya mampu melahirkan manusia “cacat” yang sempit dalam religiusitasnya atau manusia-manusia sekuler yang tak mengenal agama. K.H. Ahmad Dahlan menawarkan konsep baru yang bertolak pada pemahaman hakikat manusia secara utuh. Pendidikan seyogyanya melahirkan manusia-manusia tangguh yang siap menghadapi problema masa depan. Untuk itulah, K.H. Ahmad Dahlan membuat alternatif baru yaitu dengan memadukan sistem pendidikan pribumi atau pesantren dengan sistem pendidikan kolonial yang sesuai dengan ajaran Islam (Khozin, 2005: 4). Hasilnya, terbentuk sistem pembelajaran yang tidak hanya mencekoki peserta didik dengan satu cabang ilmu melainkan mengombinasikan ilmu umum dan ilmu agama. Dalam usia menjelang satu abad, Muhammadiyah sekarang telah berkembang pesat dengan ribuan amal usaha, termasuk di bidang pendidikan. Secara fisik dan kuantitas, Muhammadiyah bisa dikatakan jauh melampaui masa-masa awal berdirinya. Namun demikian, tak berarti secara kualitas pendidikan Muhammadiyah juga berlari seiring perkembangan secara kuantitas. Kini, seringkali pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah kembali dipertanyakan. Masihkah lembaga pendidikan Muhammadiyah jaya seperti dulu sebagai sekolahsekolah yang mempunyai daya saing? Apabila ditinjau lebih mendalam, ada stagnansi dalam tubuh Muhammadiyah khususnya ghirah ber-Muhammadiyah dalam kurun 1970-an hingga awal abad XXI (Khozin, 2005: 7). Berbagai kritik juga muncul, melihat pendidikan Muhammadiyah yang belum mampu mencerminkan nilai-nilai Islam dalam perilaku warga sekolahnya. Selain itu, berbagai indikasi masih kurangnya kualitas pendidikan Muhammadiyah seperti lemahnya daya saing dengan sekolah-sekolah lain hingga dalam hal pembiayaan yang tidak lagi berpihak pada kaum ekonomi lemah menjadikan kaburnya identitas pendidikan Muhammadiyah (http://eprints.ums.ac.id). Berbagai permasalahan tersebut tidak cukup diselesaikan dengan perombakan kurikulum, peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, ataupun dengan pemberian subsidi pada ranah komponen pendidikannya. Untuk itu, perlu keberanian untuk mencari akar permasalahan yang sebenarnya, yaitu belum tersedianya filosofi pendidikan dalam Muhammadiyah (http://eprints.ums.ac.id). Ironis, bila dalam mendidik seseorang tanpa dibekali terlebih dahulu dengan teori-teori yang bersifat abstrak, sebagai landasan tentang tujuan yang ingin dicapai. Bagian yang abstrak ini pemaknaannya banyak yang perlu diambil dari bidang filsafat. (Imam Barnadib, 2002: 5). Dengan demikian, untuk melakukan perubahan pendidikan, langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan karena pembaharuan pendidikan akan terarah dengan mantap apabila didasarkan pada filsafat dan teori pendidikan yang mantap pula. (Mukaddimah [perh.],1999: 58)
File Selengkapnya.....